Yodhia Antariksa August 25th, 2008
Negeri ini masih sangat kekurangan entrepreneur. Dibalik beragam liputan tentang seribu satu sosok enterpreneur, negeri ini ternyata masih sangat sedikit memiliki kaum wirausaha. Data terkini menunjukkan angka populasi entreprenuer di negeri ini hanya 0,18 % dari total penduduk, atau hanya sekitar 400,000 orang. Sebuah jumlah yang terlalu sedikit untuk sebuah negara dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa.
Padahal, kisah kemonceran sebuah bangsa selalu dilentikkan oleh kisah heroisme para entrepreneurnya. Mereka membangun bisnis dari nol, mendedahkan cerita legendaris, dan kemudian menancapkan jejak yang amat kokoh dalam sejarah ekonomi dunia. Amerika akan selalu dikenang karena mereka memiliki Henry Ford, Bill Gates, ataupun Lary Page & Sergei Brin (pendiri Google). Jepang menjadi legenda lantaran kisah Akio Morita (pendiri Sony), Soichiro Honda dan Konosuke Matshushita (Panasonic).
Lalu bagaimana solusinya? Apa yang mesti dilakukan negeri ini sehingga kelak akan lahir Bill Gates dari Bandung, Akio Morita dari Pemantang Siantar, ataupun Sergei Brin dari tanah Maluku? Solusi ini akan coba kita bentangkan dengan terlebih dulu menulusuri dua faktor utama kenapa negeri ini masih sangat kekurangan sosok entrepreneur yang tangguh.
Jawaban yang pertama mudah : kita sangat kekurangan jumlah entrepreneur karena sistem pendidikan kita memang mendidik kita untuk menjadi pegawai dan bukan entrepreneur; mengarahkan kita untuk menjadi kuli, bukan kreator. Sungguh mengherankan, sepanjang kita sekolah selama puluhan tahun, kita nyaris tidak pernah mendapatkan pelajaran mengenai entrepreneurship. Juga nyaris tak pernah mendapatkan pelajaran tentang keberanian mengambil resiko, tentang ketajaman mencium peluang bisnis, ataupun pelajaran tentang life skills – sebuah pelajaran penting yang akan membikin kita menjadi manusia-manusia mandiri nan digdaya.
Tidak. Kita tak pernah mendapatkan itu semua. Selama bertahun-tahun kita hanya dijejali dengan aneka teori dan konsep, seolah-olah kelak kita akan menjadi “kuli” atau pegawai di sebuah pabrik. Lalu begitulah, setiap penghujung tahun ajaran, setiap kampus ataupun sekolah bisnis beramai-ramai mengadakan Job Fair, memberikan pembekalan (sic! ) tentang cara menyusun CV yang bagus dan trik bagaimana menghadapi wawancara kerja. Semua dilakukan sebab seolah-seolah bekerja menjadi “kuli berdasi” di perusahaan besar (kalau bisa multi national companies) merupakan “jalur emas” yang wajib ditempuh oleh setiap lulusan sarjana.
Kenyataan seperti diatas mestinya harus segera dikurangi. Sebab situasi semacam itu hanya akan membuat spirit entrepreneurship kita pelan-pelan redup. Sebaliknya, kita sungguh berharap pendidikan dan pelajaran entrepreneurship diberikan secara masif dan sejak usia dini, setidaknya sejak di bangku sekolah SLTP (pelajaran tentang entrepreneurship juga bisa Anda dapatkan DISINI). Sebab dengan demikian, negeri ini mungkin bisa bermimpi melahirkan deretan entrepreneur muda nan tangguh pada rentang usia 17 tahun-an.
Pada sisi lain, acara semacam job fair mestinya disertai dengan acara yang tak kalah meriahnya, yakni semacam “Entrepreneurship Campus Festival”. Kita membayangkan dalam ajang ini, ribuan mahasiswa muda datang dengan beragam gagasan bisnis yang segar, dan kemudian dipertemukan dengan barisan investor yang siap mendanai ide bisnis mereka (investor ini sering juga disebut sebagai “angel investor” atau “venture capital”). Melalui ajang inilah bisa dilahirkan ribuan entrepreneur muda baru dari setiap kampus yang ada di pelosok tanah air. Dan sungguh, dengan itu mereka tak lagi harus antri berebut fomulir lamaran kerja, ditengah terik panas matahari, dengan peluh di sekujur tubuh, dengan muka yang kian sayu…….(duh, biyung, malang nian nasibmu…).
Faktor kedua yang membuat kita sangat kekurangan entrepreneur, dan juga harus segera diatasi adalah ini : mindset orang tua kita yang cenderung lebih menginginkan anaknya menjadi pegawai/karyawan. Sebab, orang tua mana sih yang tidak bangga jika anaknya bisa menjadi ekskutif di Citibank atau manajer di Astra International? Mindset semacam ini menjadi kelaziman sebab bagi kebanyakan orang tua kita, mengabdi dan bekerja di sebuah perusahaan besar setelah lulus kuliah adalah jalur yang harus dilalui untuk merajut kesuksesan. Sebuah jalur “paling stabil” dan “paling aman” untuk dapat melihat anaknya mampu membangun rumah dan memiliki sebuah mobil sedan.
Sebaliknya, orang tua kita acap ragu dan gamang ketika melihat anaknya memutuskan untuk membangun usaha secara mandiri. Mereka khawatir jangan-jangan hal ini akan membuat anak cucu mereka kelaparan……Mindset semacam ini pelan-pelan harus diubah. Cara yang paling efektif adalah dengan menyodorkan semakin banyak contoh keberhasilan yang bisa diraih para entrepreneur muda. Dengan kisah-kisah keberhasilan ini, diharapkan orang tua kita menjadi kian sadar bahwa pilihan menjadi entreprenuer dan membuka usaha sendiri merupakan jalur yang juga bisa membawa kesuksesan yang melimpah.
Ya, orang tua kita mungkin perlu disadarkan, bahwa pilihan menjadi juragan ayam ternak di kampung halaman tak kalah hebat dibanding menjadi manajer di Citibank yang berkantor megah di Sudirman. Bahwa pilihan menjadi juragan batik grosir tak kalah mak nyus dibanding menjadi ekeskutif di sebuah perusahaan multi nasional……
Yodhia Antariksa September 1st, 2008
M
inggu lalu saya menghabiskan banyak waktu untuk menonton InternetTV. Acara yang saya tonton adalah sebuah event historis konvensi Partai Demokrat AS yang berlangsung di Denver, Colorado, dan berpuncak pada pengukuhan Barack Obama, sebagai calon presiden kulit hitam pertama dalam sejarah panjang politik Amerika. Saya menyaksikan acara ini bukan saja karena aspek politik-nya, namun terutama karena ingin belajar mengenai ketrampilan public speaking kelas dunia.
Tak pelak dalam acara yang berlangsung selama 4 hari itu, telah tampil puluhan tokoh dengan beragam pidato yang memukau. Namun dua bintang menyeruak, menampilkan parade publick speaking yang sangat mengesankan. Yang pertama, tentu saja Barack Obama sendiri. Dan yang kedua adalah Hillary Clinton. Kedua ikon Amerika ini, dengan gayanya masing-masing, telah memberikan sebuah pelajaran yang sungguh sangat berharga mengenai apa itu makna world-class public speaking.
Lalu lesson learned apa yang bisa dipetik dari parade public speaking kedua ikon hebat itu? Disini kita setidaknya ada tiga poin pembelajaran yang layak dicatat. Yang pertama adalah sebuah poin yang sangat basic : untuk bisa menjadi seorang public speaker yang baik, pertama-tama kita mesti memiliki intellectual capacity yang kokoh dan wawasan berpikir yang ekspansif. No question about this. Sejarah para orator ulung – sejak Soekarno hingga Winston Churchill, mulai dari Marthin Luther King hingga Hillary Clinton – selalu berawal karena mereka dibekali dengan otak yang brilian. Kemampuan berbicara di depan publik tanpa disertai dengan keluasan pengetahuan hanya akan membikin kita tampak seperti orang pandir. Dan ketrampilan bicara tanpa dibekali dengan kedalaman wawasan hanya akan membuat kita lebih pas menjadi penjual obat di pinggir jalanan……(sayangnya, politisi di tanah air lebih banyak yang layak masuk kategori ini…..).

Poin yang kedua adalah ini : kedua ikon politik Amerika ini dengan sangat mengesankan memberikan pelajaran tentang apa itu makna ritme bicara, kekuatan intonasi, dan kejernihan artikulasi. Dan kita tahu, sebuah public speaking yang bagus selalu peduli dengan aspek-aspek kunci ini. Ritme dan irama penyampaian narasi yang pas, disertai dengan intonasi suara yang dinamis – tahu kapan mesti harus lembut, kapan harus lebih lantang – akan membuat audiens kita mampu terlibat sepenuhnya dengan apa yang disampaikan. Lalu, artikulasi yang jernih dan elokuen (fasih) akan selalu bisa membuat efek yang membekas pada benak pendengar kita. Hillary sangat masterful dalam soal artikulasi ini. Setiap kalimat selalu ia artikulasikan dengan jernih dan dengan ritme yang mengalir; membuat ia mampu meninggalkan jejak yang memukau dalam bentangan hati para pendengarnya (Anda bisa melihat video pidato Hillary pada layar dibawah ini. Namun, kalau koneksi internet Anda lamban, maka gambarnya akan terputus-putus….so, pastikan Anda menggunakan broadband internet connection kalau ingin menyimaknya).
Poin yang ketiga atau yang terakhir adalah ini : penguasaan panggung yang sempurna merupakan sebuah elemen amat penting untuk menghadirkan public speaking yang impresif. Apa yang akan terjadi jika kita hendak menyampaikan sebuah presentasi di depan forum dengan tubuh yang bergetar lantaran grogi, dan dengan tatap mata yang hanya melihat pada satu titik? Apa yang akan terjadi jika kita mendengarkan seseorang menyampaikan pidato dengan membaca teks, dan sepanjang pidato matanya tak pernah lepas dari teks? Duh, betapa kita akan sangat bete….(namun sayang, semua pejabat di negeri ini, sejak dari Ketua RT hingga Kepala Negara selalu menghadirkan pidato teks yang sungguh membosankan ini….Pliss deh..….).
Tidak, Hillary dan Obama sama sekali tidak menggunakan teks ketika berpidato. Mereka benar-benar menguasai panggung dengan penuh kesempurnaan. Sepanjang pidato, Hillary selalu melemparkan tatapan mata kepada setiap sudut dimana 20 ribu penonton duduk dihadapannya. Ia seperti tengah berdialog dan berbicang intim dengan setiap hadirin yang hadir. Ia seperti menyulap podium itu menjadi pangung teatrikal dengan mana ia menyajikan sebuah penampilan seni bicara yang benar-benar memukau (semenjak Soekarno, kita tidak penah lagi melihat pejabat kita yang bisa seperti ini…..).
Demikianlah tiga poin pembelajaran yang mungkin bisa kita petik dalam kaitannya dengan ketrampilan public speaking. Anda semua mungkin tidak berbakat menjadi presiden seperti mereka berdua. Namun siapa tahu kelak Anda terpilih menjadi “pejabat” atau pemimpin – entah sekedar menjadi ketua RT, ketua panitia 17-an, atau ketua tim di kantor Anda – dan kemudian Anda diminta untuk memberikan speech atau public speaking di depan forum yang besar. Nah, kalau Anda ingin melakukannya dengan baik, maka ingatlah selalu tiga poin pembelajaran diatas. Sebab dengan itulah, Anda mungkin akan bisa menampilkan sebuah speech yang menggugah nan inspiratif. Dan bukan speech yang membikin semua pendengar terlelap tidur sambil ngorok……..
See also these interesting posts:
Yodhia Antariksa March 3rd, 2008

Beberapa hari lalu, melalui layar CNN, saya menyaksikan debat calon presiden Amerika antara Hillary Clinton dengan Barack Obama. Dan selama hampir dua jam itu, saya terhenyak menyaksikan sebuah parade komunikasi yang amat menggairahkan, inspiratif dan sekaligus sarat dengan pertarungan gagasan nan mengesankan.
Dalam drama komunikasi itu, Barack Obama kiranya kian meneguhkan dirinya sebagai one of the most outstanding communicators on earth. Melalui aura kecerdasan dan keterampilannnya merajut kalimat, penampilan Barack Obama sungguh menawarkan sederet kisah pembelajaran yang amat kaya tentang apa itu manajemen komunikasi. Lalu, apa saja pelajaran tentang the art of communication yang disuguhkan oleh bekas anak Menteng ini? Mari kita nikmati bersama.
Sebelum mengeksplorasi elemen-elemen teknis tentang communication skills yang telah diperagakan oleh Obama, tampaknya ada dua karakter dasar yang sejauh ini amat membantu dirinya menjadi sang komunikator ulung.
Yang pertama adalah ini : Obama adalah seseorang dengan pribadi yang hangat, santun, dan selalu berpenampilan kalem. Ia nyaris tak pernah memperlihatkan sikap agresif dan menujukkan mimik muka yang terkesan “merendahkan” orang lain. Sebaliknya, ia selalu menawarkan aura kehangatan, rasa hormat pada mitra bicara, serta mampu menampilkan sosok yang tenang dan persuasif. Karakter semacam ini tak pelak, telah mampu menumbuhkan simpati orang lain bahkan sebelum ia mengeluarkan sepatah kata pun.
Yang kedua, well, Obama memang orang yang cerdas. Ia lulusan dari Harvard Law School dan bekas Pemred majalah mahasiswa prestisius di kampusnya itu. Dengan kata lain, Obama bukan komunikator asbun, atau hanya pandai beretorika layaknya penjual obat di pinggir jalanan. Obama pandai dan ia sangat menguasai tema-tema yang dibicarakannya. Dan oh ya, dua bukunya yang indah itu, The Audacity of Hope: Thoughts on Reclaiming the American Dream dan Dreams from My Father: A Story of Race and Inheritance dengan jelas juga menunjukkan kapasitas intelektual dia.
Kini kalau kita coba menelisik ketrampilan komunikasi Barack Obama secara lebih detil, maka setidaknya ada 5 elemen pelajaran yang bisa kita petik darinya. Lima elemen itu dalam manajemen komunikasi acap disebut sebagai 5 C : Complete, Concise, Consideration, Clarity, dan Courtesy.
Complete. Dalam debat menegangkan itu, Obama selalu mampu menyuguhkan gagasannya secara lengkap dan koheren; tidak parsial atau sepotong-potong. Elemen ini mengindikasikan bahwa kesempurnaan komunikasi yang kita bangun hanya bisa dicapai jika kita menyampaikannya dengan lengkap, dan tidak sepotong-potong. Mari kita ingat, berapa kali kita mengalami mis-komunikasi hanya gara-gara kita tidak menyampaikan informasi kepada rekan kerja atau kepada bos, dengan lengkap.
Concise. Ringkas dan padat. Tidak bertele-tele. Sadar bahwa efisiensi waktu amat penting, malam itu Obama selalu bisa menyampikan esensi gagasannya dengan ringkas namun padat. Audiens senang karena dengan demikian mereka mudah mencernanya, dan tidak bosan mendengar kalimat yang bertele-tele. Kita sama. Kita akan senang kalau mendengar orang lain menyampaikan gagasannya dengan ringkas dan jelas. Sayang, dimana-mana kita melihat orang acap melupakan elemen penting ini. Banyak orang bicara dengan boros, tidak efisien, mengulang-ulang, bertele-tele, dan membosankan lagi. Pliss deh…….
Consideration. Consideration means that you prepare every message with the recipient in mind and try to put yourself in his or her place. Dalam debat itu Obama tampil dengan sudah mengetahui apa yang ada dibenak rakyat Amerika. Apa yang mereka butuhkan, dan apa yang mereka dambakan. Ketika kita membangun komunikasi, kita mestinya juga melakukan hal serupa. Selalu berusaha memahami apa kebutuhan orang lain – dan bukan melulu minta dipahami. Selalu membangun empati pada apa yang dirasakan oleh mitra bicara kita dan mau mendengarkan isi hati orang lain.
Clarity. Obama mampu mendemonstrasikan elemen ini dengan amat memukau. Ia mampu memilin kata dan merajut kalimat dengan penuh presisi. Ia mampu mengartikulasikan gagasannya dengan jelas dan mengalir. Kita mungkin tak mesti harus seperti Obama. Namun alangkah eloknya, jika kita juga bisa mengekspresikan setiap jejak gagasan dan keinginan kita dengan penuh kejelasan. Dengan itu, sebuah relasi yang produktif mungkin bisa kita pahat dengan penuh keberhasilan.
Courtesy. Santun. Persuasif. Menumbuhkan respek. Elemen ini juga diperagakan dengan nyaris sempurna oleh Obama. Ia menawarkan gagasannya dengan santun dan elegan. Alunan kalimat yang membasahi bibirnya sungguh persuasif dan menumbuhkan respek. Kita kagum dan menaruh hormat dengan orang-orang yang seperti ini. Kita mungkin juga pernah menjumpainya. Inilah orang-orang yang selalu bisa berbicara dengan santun (tidak kasar), persuasif (tidak memaksa), dan menumbuhkan respek (dan bukan merendahkan).
Itulah pelajaran the art of communication a la Barack Obama. Bravo Obama. Viva for US President 2008.
Note : Jika Anda ingin mendapatkan file powerpoint slides mengenai developing communication skills, silakan datang KESINI.
Yodhia Antariksa September 6th, 2007

Pengembangan pribadi yang bermutu unggul secara sistematis boleh jadi merupakan salah satu strategi yang mesti diusung ketika suatu perusahaan bemimpi menjadi yang terbaik. Dalam kaitannya dengan hal ini, beberapa tahun terakhir ini merebak satu pendekatan baru dalam menata kinerja manusia, yang acap disebut sebagai competency-based HR management (CBHRM), atau manajemen pengelolaan SDM berbasis kompetensi. Dalam pendekatan ini, kosa kata kompetensi menjadi elemen kunci.
Secara general, kompetensi sendiri dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi antara ketrampilan (skill), atribut personal, dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Dalam sejumlah literatur, kompetensi sering dibedakan menjadi dua tipe, yakni soft competency atau jenis kompetensi yang berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan, hubungan antar manusia serta membangun interaksi dengan orang lain. Contoh soft competency adalah: leadership, communication, interpersonal relation, dll. Tipe kompetensi yang kedua sering disebut hard competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain, kompetensi ini berkaitan dengan seluk beluk teknis yang berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni. Contoh hard competency adalah : electrical engineering, marketing research, financial analysis, manpower planning, dll.
Tahap pertama yang mesti dilakukan ketika suatu perusahaan hendak membangun competency-based HR management adalah menyusun direktori kompetensi serta profil kompetensi per posisi. Dalam proses ini, dirancanglah daftar jenis kompetensi – baik berupa soft dan hard competency – yang dibutuhkan oleh perusahaan tersebut; lengkap dengan definisi kompetensi yang rinci, serta juga indikator perilaku dan levelisasi (penjenjangan level) untuk setiap jenis kompetensi. Dalam tahap ini pula disusun semacam kebutuhan kompetensi per posisi, atau semacam daftar kompetensi apa yang dipersyaratkan untuk satu posisi tertentu, berikut dengan level minimumnya.
Tahap berikutnya merupakan tahap yang paling kritikal, yakni tahap asesmen kompetensi untuk setiap individu karyawan dalam perusahaan itu. Tahap ini wajib dilakukan sebab setelah kita memiliki direktori kompetensi beserta dengan kebutuhan kompetensi per posisi, maka kita perlu mengetahui dimana level kompetensi para karyawan kita – dan dari sini juga kita bisa memahami gap antara level kompetensi yang dipersyaratkan dengan level yang dimiliki oleh karyawan saat ini.
Terdapat beragam metode untuk mengevaluasi level kompetensi, dari mulai yang bersifat sederhana dan praktis hingga yang kompleks. Metode yang praktis adalah meminta atasan, rekan kerja dan mungkin juga bawahan untuk menilai level kompetensi karyawan tertentu, dengan menggunakan semacam kuesioner kompetensi. Kuesioner ini didesain dengan mengacu pada direktori kompetensi serta indikator perilaku per kompetensi yang telah disusun pada fase sebelumnya.
Metode lain yang lebih kompleks adalah dengan menggunakan teknik yang disebut sebagai competency assessment center. Dalam metode ini, karyawan diminta untuk melakukan bermacam-macam tugas seperti melakukan simulasi peran, memecahkan suatu kasus atau juga menyusun skala prioritas pekerjaan. Hasil kegiatan ini kemudian dievaluasi oleh para evaluator yang biasanya terdiri lebih dari satu orang. Meskipun obyektivitas dan validitasnya relatif tinggi, metode ini membutuhkan waktu yang cukup panjang (biasanya dua hari) dan biaya serta energi yang relatif besar.
Metode uji kompetensi lain yang kini juga banyak dilakukan adalah dengan menerapkan sertifikasi kompetensi yang dikeluarkan oleh suatu badan yang independen dan kredibel. Di Amerika Serikat misalnya, telah terdapat sertifikasi kompetensi untuk beragam profesi/posisi seperti untuk posisi marketing, HR, keuangan, engineering, dll. Dengan sertifikasi ini, maka seorang karyawan benar-benar telah teruji level kompetensinya.
Tahap berikut dari penerapan CBHRM adalah memanfaatkan hasil level asesmen kompetensi yang telah dilakukan untuk diaplikasikan pada setiap fungsi manajemen SDM, mulai dari fungsi rekrutmen, manajemen karir, pelatihan, hingga sistem remunerasi.
Memang, perjalanan penerapan metode CBHRM membutuhkan proses yang panjang nan berliku. Namun, manfaat yang akan diperoleh dari penerapan metode ini niscaya akan membuat sebuah perusahaan bisa makin melesat unggul dibanding para pesaingnya.
Note : Jika Anda ingin mendapatkan file powerpoint presentation mengenai competency-based HR managtement, silakan datang KESINI.
Yodhia Antariksa September 10th, 2007
S
Sekolah bisnis mana yang layak disebut sebagai terbaik di dunia? Sebagian orang mungkin akan menyebut nama Harvard Business School, atau Wharton School of Business, atau mungkin MIT. Namun bagi sebagian yang lain, yang layak dianggap sekolah bisnis terbaik adalah GE Campus at Crottonville. Sebabnya sederhana: berdasar survei, kampus GE ini ternyata lebih banyak menghasilkan CEO dan business leaders hebat dibanding sekolah bisnis manapun di dunia ini.
GE Campus yang berlokasi di Crottonville, USA, boleh jadi merupakan contoh terbaik tentang proses pengembangan corporate university. Disinilah, segenap manajer GE dari seluruh dunia digembleng dan ditempa untuk menjadi great leaders yang mampu menggerakan roda bisnis GE menuju kesempurnaan prestasi. Ketika masih menjabat CEO GE, Jack Welch senantiasa menyebut GE Campus sebagai salah satu elemen terpenting bagi kegemilangan prestasi bisnis GE.
Bagi banyak organisasi kelas dunia, konsep pendirian kampus perusahaan semacam GE Campus telah banyak dilakoni. Selain GE Campus, kampus perusahaan lain yang juga tenar adalah Motorola University yang dikenal sebagai pelopor gerakan mutu Six Sigma. Contoh lainnya adalah McDonald University, tempat dimana semua calon pemilik usaha franchise McD dari seluruh dunia digembleng untuk memahami bagaimana menjual hamburger. Dalam konteks lokal, kita mungkin mengenal Astra yang memiliki kampus bernama Astra Management Development Institute. Atau juga TNI AD, yang SESKOAD-nya mungkin layak dianggap sebagai salah satu kampus yang paling teruji dalam mencetak future leaders.
Sejumlah nama yang disebut diatas merupakan contoh organisasi yang percaya akan keampuhan corporate university bagi peningkatan kapasitas SDM mereka. Seperti namanya, konsep corporate universuty ini sebenarnya merujuk pada pengembangan suatu “universitas” didalam entitas suatu perusahaan – tempat dimana para karyawan menjalani proses pendidikan dan pelatihan yang terpadu dan sistematis. Pendeknya, tempat ini ibarat kawah candradimuka dimana suatu perusahaan/organisasi menggembleng calon-calon eksekutifnya dimasa depan.
Lalu, langkah semacam apa yang mesti dilakoni untuk mendesain corporate university? Disini terdapat sejumlah proses yang layak disebut. Yang pertama-tama harus dilakukan adalah menentukan desain kurikulum yang komprehensif dan terpadu. Desain kurikulum ini mestilah mengacu pada arah strategi bisnis masa depan — sehingga dengan demikian akan ada koneksi yang kuat antara pengembangan SDM dengan kebutuhan strategis perusahaan. Pada sisi lain, perancangan kurikulum ini juga mesti berbasis pada profil kompetensi yang dibutuhkan untuk peningkatan kinerja karyawan. Melalui desain kurikulum ini pula, dapat dirancang matriks pendidikan yang harus dilalui oleh karyawan untuk menaiki jenjang karir